Kontroversi Ujian Nasional
A. Sekilas Tentang Kontroversi Ujian Nasional
Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian
dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pada awal
pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia,
matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan
meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas
Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun
Ke tahun, mulai dari 4,1 hingga sekarang rata-rata 5,5. Jika pada awalnya UN hanya
diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD.
Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salah satu faktor
penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan
dalam sistim pendidikan modern. Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional
dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam
argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan
kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk
kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun
ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti
telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan.
Sementara di sisi lain, sebagian budayawan dan pakar pendidikan nasional kerap mengkritisi
kebijakan standarisasi UN. Megawati misalnya, dalam kapasitasnya sebagai budayawan, menilai
UN sebagai anti kebhinekaan karena mengabaikan perbedaan-perbedaan kultur lokal dan
geografi; sementara Winarno Surakhmad menilai UN sebagai salahsatu bentuk reduksionisme
pendidikan di Indonesia. Dalam pandangannya Indonesia tidak bisa diseragamkan, harus ada
pembedaan dan penekanan yang khas daerah masing-masing. Kritik lainnya menyangkut efek
domino negative dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya
kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang
siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN
semata. Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah
guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya
menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena
dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan
guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat
mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong
untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya
Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap
bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan
semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana dimaklumi,
bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari
pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah
pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor,
melalui strategi dan pendekatan pembelajaranyang jauh lebih menyenangkan dan
kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes
tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini
akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin,
para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan
usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan
behavioristik.
Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti
kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi
segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan
kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja,
merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian akhir
untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat
ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
Periode 1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh
soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk
esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.
Periode 1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh
pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang
menentukan waktu ujian.
Periode 1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan
ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau
kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
1980-2000
Mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata
pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi
pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh
kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
2001-sekarang
Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir
Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran
secara individual.Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01
pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6.
Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran
4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Dalam UAN 2009 dan 2010 peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN
sebagai berikut :
memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai
minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran
lainnya;pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya;
B. Beberapa Kritik-Historis Ujian Nasional
Penulis sadar bahwa terdapat perbedaan secara mendasar situasi dan kondisi bangsa Indonesia
kontemporer dengan daulah Abbasiah masa klasik. Namun demikian bukan berarti studi
komparasi histories seperti ini menjadi mustahil, mengingat salahsatu fungsi utama ilmu sejarah
adalah untuk dijadikan pelajaran dalam memandang masa depan. Peranan sejarah yang seperti
ini oleh Louis Gootschalk diibaratkan seperti batu permata yang diselimuti oleh lumpur kotor—
bukankah batu permata justru menjadi semakin berharga karena adanya lumpur-lumpur kotor tak
berharga di tempat kita mengambilnya? Lewat analogi seperti ini kiranya bisa dipahami bahwa
sekali pun peradaban modern telah sedemikian majunya dalam berbagai aspek, namun bukan
berarti tidak ada pelajaran-pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sejarah Islam masa klasik.
Berdasarkan deskripsi histories pada bab dua, penulis mengambil kesimpulan bahwa setidaknya
terdapat empat factor yang cukup penting untuk diangkat di sini kaitannya dengan pelaksanaan
UN: pertama masalah kreativitas guru; kedua, masalah besarnya peranan lembaga non formal;
ketiga, masalah metode ta’liqah dan jadal; dan terakhir, tujuan pendidikan itu sendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa UN, tanpa mengabaikan efek
positifnya, telah menimbulkan efek domino negative berupa dipersempitnya ruang gerak guru
bersangkutan, semakin menjamurnya lembaga-lembaga non formal yang mendukung persiapan
UN dan penekanan pendidikan pada aspek kognitif anak semata.
Standarisasi UN dan meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah
meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata
pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti
pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode ajar guru terpaku pada kurikulum nasional
dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas
memprihatinkan mengingat pada masa keemasan islam, kreativitas guru telah menjadi factor
yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun
terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk belajar secara mandiri. Ibn Sina ketika
membicarakan masalah pendidikan menitikberatkan pada konsep self-education seperti ini.
UN juga telah menjadikan lembaga non formal menjamur dan semakin diburu para siswa.
Namun sayangnya lembaga yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar mengajarkan tips
dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal. Hal ini menjadikan waktu luang siswa
bersangkutan untuk belajar secara mandiri sesuai dengan minat dasarnya menjadi amat
terkurangi. Di masa keemasan islam kita melihat bahwa lembaga pendidikan non formal yang
berkembang justru tidak memiliki keterikatan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal,
dan memiliki peran sama pentingnya dengan lembaga pendidikan formal; sementara lembaga
formal focus pada ilmu keagamaan, lembaga non formal justru menjadi sarana pendidikan ilmu
filosofis dan praktis. UN pada akhirnya juga amat menekankan pada aspek hapalan siswa,
sementara kita melihat pada masa keemasan islam metode hapalan tersebut mesti diiringi dengan
debat (argumentasi) baik secara tertulis (ta’liqah) maupun lisan (jadal).
Akan halnya tujuan pendidikan pada masa keemasan islam bukanlah untuk sekadar memenuhi
standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter siswa.
Tujuan pendidikan dalam islam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, tujuan akhir dan
antara. Tujuan antara meliputi tujuan individual (kaitan dengan pendidikan pribadi dan karakter
siswa), tujuan social (hubungan siswa dengan masyarakat dan lingkungan) dan tujuan
professional (kaitan dengan aktivitas dalam masyarakat dan tuntutan profesi). Sementara tujuan
akhir nya adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang bertaqwa. Sistim pendidikan ala
Barat seperti standarisasi UN secara nasional dengan mengabaikan aspirasi dan keunikan budaya
local, justru akan menciptakan split personalities dan marginal men yang terasing dan terkucil
dari lingkungan dan masyarakat tempatnya bernaung dan mengabdi di kemudian hari.
Referensi
- Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998).
- Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (UI-Press: Jakarta, 1986).
- Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006).
- Stanton, Charles M., Pendidikan Tinggi Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994)
- Watt, W. Montgomery Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990),
- ST Sularto, “Winarno Surakhmad, Belajar Mendengarkan” dalam harian, Kompas, (selasa, 23
Juni 2009), h. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar