Assalamu
‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Pembahasan
boleh tidaknya masalah ulang tahun seseorang atau organisasi memang
tidak disinggung secara langsung dalam dalil-dalil syar‘i. Tidak ada
ayat Al-Quran atau hadits Nabawi yang memerintahkan kita untuk merayakan
ulang tahun, sebagaimana sebaliknya, juga tidak pernah ada larangan
yang bersifat langsung untuk melarangnya.
Sehingga
umumnya masalah ini merupakan hasil ijtihad yang sangat erat kaitannya
dengan kondisi yang ada pada suatu tempat dan waktu.
Artinya,
bisa saja para ulama untuk suatu masa dan wilayah tertentu memandang
bahwa bentuk perayaan ini lebih banyak mudharat dari manfaatnya. Namun
sebalik, bisa saja pendapat ulama lainnya tidak demkian, bahkan mungkin
ada hal-hal positif yang bisa diambil dengan meminimalisir dapak
negatifnya.
Mengapa
demikian? Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih melarang
atau membolehkannya. Tidak terdapat dalam sunnah apalagi dalam Al-Quran.
Sehingga dalam satu majelis yang di dalamnya duduk para ulama,
perbedaan sudut pandang pun bisa saja terjadi, tergantung dari sudut
pandang mana seorang melihatnya.
Pendapat yang Mengharamkan Sebagian
ulama yang berfatwa mengharamkan perayaan ulang tahun, berijtihad dari
dalil-dalil yang bersifat umum. Misalnya, dalil-dalil yang melarang umat
Islam meniru-niru perbuatan orang-orang kafir. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW: من تشبه بقوم فهو منهم Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk
mereka (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Kiranya
para ulama itu memandang bahwa perayaan ulang tahun itu identik dengan
perilaku orang-orang kafir. Sehingga mereka mengharamkan umat Islam
untuk merayakannya secara ikut-ikutan.
Selain
itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang tahun disertai dengan
banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget, dansa,
campur baur laki-laki dan wanita. Bahkan banyak yang sampai meninggalkan
shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta itu sampai
melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan
menonjolkan kekayaan. Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada
penyelenggaranya.
Yang
Cenderung Membolehkan
Adapun
sebagian lainnya dari para ulama, mereka cenderung membolehkan ulang
tahun. Dengan landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual.
Sehingga selama tidak ada larangannya yang secara langsung disebutkan di
dalam nash Quran atau sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan
kaidah “al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah.” Bahwa kaidah dasar dari
masalah muamalah adalah kebolehan, selama tidak ada nash yang secara
tegas melarangnya.
Adapun
alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan argumen bahwa tidak semua
yang dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait
dengan peribadatan saja yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah,
selama tidak ada nash yang langsung melarangnya, hukumnya tidak apa-apa
bila kebetulan terjadi kesamaan.
Misalnya,
kebiasaan pesta pasca panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah
bila ada kebiasaan yang sama di suatu negeri muslim, dianggap sebagai
bentuk peniruan? Tentu tidak, sebab hal itu dipandang sebagai ‘urf yang
lazim, tidak ada kaitannya dengan wilayah kekufuran atau kebatilan.
Para
ulama dari kelompok ini cenderung menetapkan ‘illat haramnya peniruan
pada orang kafir berdasarkan titik keharamannya. Bukan semata-mata
dilakukan oleh mereka. Misalnya, kebiasaan orang kafir memberikan sesaji
kepada gunung yang mau meletus, maka hukumnya haram bagi muslimin untuk
melakukannya.
Adapun
bila ada nash secara langsung dari Rasulullah SAW untuk tidak meniru
suatu perbuatan tertentu, maka wajib bagi tiap muslim untuk mengikuti
perintah beliau. Misalnya, larangan Rasulullah SAW bagi umat Islam untuk
mencukur jenggot dan memelihara kumis, sebab dianggap menyerupai orang
kafir. Maka larangan itu tetap berlaku, meski pun orang kafir sendiri
telah merubah kebiasaannya.
Beberapa Pertimbangan
Bila
kita ingin meletakkan hukum merayakan ulang tahun, kita harus membahas
dari tujuan dan manfaat yang akan didapat. Apakah ada di antara tujuan
yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau
sekedar penghamburan uang? Atau sekedar ikut-ikutan tradisi?
Yang
kedua, apa manfaat acara seperti itu? Adakah sesuatu yang menambah
iman, ilmu dan amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau
lainnya?
Yang
ketiga, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa
yang dilanggar?
Yang
keempat, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti
itu menjadi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada
generasi berikut seolah-olah acara seperti ini harus dilakukan? Hal ini
seperti yang terjadi pada upacara peringatan hari besar Islam baik itu
kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.
Jangan
sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang
tahun adalah sesuatu yang harus terlaksana. Bila memang demikian,
bukankah kita telah kehilangan makna?
Wallahu
a‘lam bis-shawab. wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar