Ujian nasional di jenjang SMA sederajat tidak bisa multifungsi, yaitu
untuk pemetaan, kelulusan, sekaligus seleksi masuk perguruan tinggi.
Justru pemerintah diminta berbesar hati segera mengkaji kembali
kebijakan ujian nasional supaya tidak merugikan siswa.
Kajian dari panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) 2010 yang menunjukkan rendahnya korelasi nilai ujian nasional
(UN) dengan nilai SNMPTN yang rata-rata nasional hanya 0,2 seharusnya
jadi masukan bagi pemerintah dan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) untuk tidak memaksakan pelaksanaan UN. Perlu ada kajian serius
dan jujur soal kredibilitas UN, baik dari soal maupun pelaksanaannya di
lapangan.
Said Hamid Hasan, ahli evaluasi pendidikan dari Universitas
Pendidikan Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/11),
mengatakan, karena hakikat soal UN dan SNMPTN berbeda, tentu saja
korelasinya akan rendah. Karena itu, sulit memakai hasil UN sebagai
dasar seleksi masuk PTN.
Kalau mau tetap dipakai untuk seleksi, soal UN harus diubah seperti
dalam SNMPTN. Namun, apakah pemerintah siap jika nanti banyak siswa
yang tidak lulus. Sebab, pemerintah cuma fokus pada banyak siswa yang
lulus. Bukan bagaimana membenahi supaya pembelajaran di SMA/SMK membuat
siswa siap untuk kuliah atau bekerja, kata Hamid.
Menurut dia, masukan dari PTN itu seharusnya membuka pemikiran
pemerintah yang keliru soal UN. Tidak bisa UN bersifat multifungsi,
lalu berharap mutu pendidikan meningkat drastis. Pelaksanaan UN itu
justru menghukum anak-anak yang tidak mendapat hak-haknya. Mereka yang
mendapatkan layanan pendidikan terbatas divonis dengan kebijakan UN
yang memutuskan dia lulus atau tidak, kata Hamid.
Tujuan berbeda
Elin Driana, ahli evaluasi dan penelitian pendidikan, menjelaskan,
validasi sebuah tes tergantung dari tujuan dibuatnya tes itu. Menurut
dia, tujuan UN dan SNMPTN jelas berbeda.
Menurut Elin, dari hasil kajian PTN itu bisa didalami lebih jauh
soal pelaksanaan UN selama ini. Jika hasil UN memang mencerminkan
kemampuan siswa sesungguhnya, siswa juga cukup siap menghadapi tes
seleksi.
Kita mendengar pada UN itu banyak kecurangan. Pemerintah selalu
bilang enggak, tetapi suara dari guru dan siswa sebaliknya. Bisa jadi
korelasi yang sangat rendah ini juga mengarah pada kredibilitas UN yang
masih harus dibuktikan lagi, kata Elin.
Sebab, pelaksanaan SNMPTN relatif jauh dari kecurangan. Masyarakat
bisa menilai dan lebih percaya bahwa hasil tes SNMPTN akan lebih
menggambarkan kemampuan yang sebenarnya dari siswa.
Erlin menambahkan, dari kajian literatur yang dilakukannya di
Amerika Serikat, ternyata prestasi anak di sekolah lebih menggambarkan
keberhasilannya di kampus daripada hasil tes SAT (Scholastic Aptitude
Test).
Nilai sekolah itu kan bervariasi. Ada guru yang pelit memberi
nilai, ada yang royal. Tetapi, siswa yang berprestasi di sekolah
terlihat IPK-nya pada tahun pertama bagus. Kenapa tidak soal kelulusan
siswa itu diserahkan pada penilaian sekolah, kata Elin yang juga salah
satu Koordinator Education Forum.
Priyo Suprobo, Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya, yang juga Koordinator Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) SNMPTN 2010, mengatakan, UN sebenarnya tidak diperlukan untuk
kelulusan siswa. Yang penting adalah hasil UN itu diperkuat untuk
memetakan kondisi sekolah-sekolah.
Yang tahu betul kemampuan siswa itu, ya guru. Bukan BSNP dan komputer. Malah lebih baik pakai ujian sekolah, ujar Priyo.
Menurut dia, pemerintah dan BSNP mesti berani untuk membuka ke
masyarakat mana daerah putih, hitam, atau abu-abu dari hasil UN. Sebab,
nilai UN yang tinggi masih dipertanyakan kredibilitasnya.
Musliar Kasim, Ketua Majelis Rektor PTN, mengatakan, kredibilitas UN
memang masih menjadi ganjalan bagi PTN untuk menerimanya sebagai bagian
dari seleksi masuk. Dia menilai, UN masih perlu ditingkatkan agar
efektif dan bermanfaat. (ELN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar