Pembedaan standar kelulusan ujian nasional
sesuai status sekolah masing-masing, entah sekolah standar nasional,
rintisan sekolah berstandar internasional, maupun sekolah biasa,
dipandang tidak menyalahi semangat UN sebagai ujian berstandar nasional.
Kebijakan tersebut justru sebagai salah satu bentuk upaya memperbaiki
sistem UN, terutama guna melihat bagaimana tingkat daya serap serta
bagaimana siswa bisa menerima dan mengimplementasikan kurikulum yang
telah diajarkan di sekolah.
“Soal hasil UN di masing-masing tingkatan sekolah itu berbeda,
bukanlah jadi persoalan. Yang terpenting, alat ukurnya sama, yakni UN,”
ujar Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemendiknas, Prof Suyanto PhD, yang ditemui di Semarang.
Menurutnya, wajar adanya pembedaan standar kelulusan sesuai kapasitas
atau kualitas sekolah. Sekolah berstatus RSBI, memang harus berani
menerapkan standar kelulusan yang tinggi dibanding sekolah pada umumnya.
“Sudah seharusnya hasil UN para siswa RSBI lebih tinggi dibanding
standar kelulusan minimal UN yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Dikatakan, nilai UN para siswa RSBI minimal 7 karena mereka telah
memiliki fasilitas dan perlengkapan kegiatan belajar-mengajar yang jauh
lebh baik dibanding sekolah pada umumnya. Sementara bagi sekolah yang
tidak berstandar nasional, menurut dia, hendaknya juga menargetkan nilai
kelulusan terendah yang sama dengan standar nilai UN sekolah RSBI.
Hal ini terutama berlaku bagi sekolah yang mengklaim dirinya favorit,
atau diklaim masyarakat sebagai sekolah favorit. “Mereka harus berani
membuat rata-rata atau passing grade hasil UN yang lebih tinggi. Karena
nyatanya, sebetulnya nilai UN para siswanya juga tinggi,” ungkapnya.
Sejak awal, para guru, siswa, dan pemimpin sekolah favorit, harus
sadar bahwa pihaknya harus mencapai hasil yang lebih baik dibanding
sekolah pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar