Sabtu, 06 Maret 2010
Hanya Kembang Rumput
Bunga yang indah tetapi luput dari perhatian banyak orang, karena harus
bersaing dengan indahnya tulip dan krisan warna-warni. Aku
menatap jalanan yang dipenuhi oleh rumput ilalang dari balik jendela
kamarku. Mataku tertumbuk pada sebuah kembang rumput putih kelabu di
halaman depan. Disekitarnya terdapat aneka puspa yang tumbuh berjejer
ditepian pagar. Ada mawar merah, tulip, juga krisan warna-warni.
Sungguh! Puspa putih kelabu itu tak ubahnya diriku. Si kembang rumput
yang selalu menarik diri setiap ada pertemuan-pertemuan keluarga.
Sikembang rumput yang selalu menjadi nomor kesekian untuk didahulukan
kepentingannya. Besar dan tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah,
karena selalu dibanding-bandingkan dengan kedua saudaranya. Namun, dia
tetap menyayangi mereka, meski telah bertahun-tahun bersikap tak adil
padanya. Kakaknya Desy semasa hidupnya tak pernah bosan mengukir
prestasi. Tak heran bila sederet piala berjejer rapi di lemari kayu
jati. Dikampus selain terkenal karena kecantikannya, juga ternama
karena kepopulerannya. Desy yang begitu dibanggakan, sedari dulu sudah
tertarik menekuni dunia bisnis, hingga mengambil jurusan bisnis
manajement saat kuliah. Tak heran setelah Desy menamatkan S1nya,
perusahaan keluarga dipercayakan untuk dikelola olehnya. Sedangkan
adikku Rika, tak jauh berbeda dengan Desy. Selalu menjadi nomor satu
disekolah, juga dalam setiap kegiatan yang diikutinya Hingga Rika
berhasil masuk STAN dengan menjalani serangkaian tes tanpa kesulitan
yang berarti. Sedangkan aku si anak tengah, memiliki wajah
standar--karena kulitku tak seputih kedua saudaraku—juga dengan hidung
yang tak bangir seperti Desy. Disamping itu, tak satupun medali pernah
kuraih. Bahkan prestasiku disekolah juga biasa-biasa saja. Paling
tinggi hanya masuk sepuluh besar. Setelah tamat sarjana, aku sudah
cukup puas menjadi seorang guru di sebuah SDIT swasta. Yah, diantara
ketiga puspa, aku hanyalah sebuah kembang rumput bagi keluargaku. Yang
tak pernah dilirik karena berpredikat biasa-biasa saja. Aku masih
terpesona dengan pemandangan alam didepanku. Ketika langit mulai
memamerkan warna lembayung. “Kamu mau apa lagi Des? tanya
Ibu penuh perhatian. Sedangkan aku hanya diam sambil menatap cemburu
barang belanjaan Desy yang sudah terisi dua keranjang penuh. Sementara
sedari tadi Ibu tak jua menanyakan barang apa yang kumau. “Desy capek
yah? Ayo ganti baju dulu! Ibu udah masakin makanan kesukaanmu,” Ibu
menyambut anak emasnya yang baru pulang sekolah dengan antusias dan
penuh kasih sayang. Dengan hati pedih karena tak ditanyai, dia
memutuskan segera masuk kamar untuk ganti baju. Meski dirinya juga
diserang rasa lelah dan lapar. Tapi, siapa yang hendak perduli? Sedari
kecil, dia sudah belajar mengatasi semuanya sendiri. Memang, Desy baru
mau makan bila dimeja makan terhidang aneka lauk yang lezat terlebih
dulu. Disamping Ibu tak pernah mengijinkannya mengambil sendiri ke
dapur. Tapi tidak berlaku untukku. Bila aku lapar, maka aku akan
menyendokkan nasi kepiringku, dan mencomot lauk di lemari dapur tanpa
menunggu semuanya terhidangkan, karena memang ibu tak pernah melakukan
itu untukku. Aku berusaha untuk menepis rasa iri dan kecewa
dihatiku. Bagiku, yang penting perut segera terisi. Tak perduli lauk
apa pun yang dijatah untukku. Sedangkan Rika masih sangat kecil waktu
itu. Hingga perbedaan perhatian yang diberikan antara aku dan Desy
terasa begitu jauh mencolok. Kenangan masa kecil yang masih mengendap
dalam memoriku. Kenangan betapa Ibu lebih mengistimewakan Desy
dibanding diriku. Sampai kapankah aku menjadi second person di rumah
ini? jerit batinku yang teraniaya tanpa daya. Maghrib sebentar lagi
akan datang. Aku segera menutup gorden jendela kamarku.Dan bergegas ke
kamar mandi untuk segera berwudu’, saat kudengar suara azan
berkumandang dari mesjid yang ada di komplek perumahan. Lalu kembali
kekamarku untuk menunaikan solat tiga rakaat seperti biasanya. Ketika
melewati ruang tamu, kulihat Desy sedang asyik menonton televisi.
Sementara Rika belum juga keluar dari kamarnya. Sedangkan Ayah dan Ibu
belum pulang dari dikantor. “Kak, solat bareng yuk!” ajakku
lembut. “Kamu solat aja duluan. Kakak sedang menunggu Mike!”jawabnya
tak acuh. Matanya masih terpaku didepan TV. Aku hanya bisa menahan
nafas galau melihatnya. Mengapa kedua orangtuaku tak pernah risau
mendapati kedua anaknya yang cantik-cantik dan hebat ini meninggalkan
solat dengan enteng begitu saja? Seolah-olah prestasi yang mereka raih
tak perlu mereka syukuri di hadapan Ilahi. Namun, dia hanya bisa
mengingatkan. Tak bisa lebih dari itu, karena statusnya yang dianggap
hanya anak bawang. Dia juga tak bisa melupakan jawaban yang melecehkan
saat pertama kali mengajak Kakaknya Desy dan adiknya Rika untuk memakai
jilbab. “Akh, kampungan!” jawab Desy ketus. “Iya. Rika juga emoh pakai
kerudung kayak Kak Ana. Udah gak modis, gerah lagi ngeliatnya.” Akupun
tak berkutik mendengar jawaban mereka yang penuh dengan cibiran.Aku
segera masuk kekamar untuk menunaikan solat maghrib yang waktunya
sangat singkat. Menghadap Allah untuk mengadukan segala gundah yang
kurasakan. Hingga jiwaku merasa sangat tenang dan damai. Mengucap
syukur pada Tuhan dengan segala nikmat yang sudah kudapat. Tak tersisa
lagi rasa kecewa seperti dulu, setelah aku menyerahkan semua urusanku
pada-Nya. Kecewa karena selalu dianggap sebelah mata oleh Ibu, Desy,
dan Rika. Hanya Ayah yang tak pernah memberikan perlakuan yang berbeda
padaku. Bahkan, tak hanya sekali Ayah memprotes sikap Ibu yang selalu
menunjukkan kasih sayang dan perhatian yang berbeda padanya. “Bu,
kenapa cuma Desy yang dibeliin mainan? Memangnya, anaknya cuma satu?
ayah bertanya dengan nada tak suka. “Aduh pak, Ibu lupa! Habis tadi
niatnya bukan mau beli mainan,” jawab ibunya tanpa merasa
bersalah. Padahal Ana tahu, Ibu hanya mencari pembenaran atas sikapnya
di depan ayah. Bukan satu kali ini saja Ibu lupa padanya. Mungkin
puluhan kali. Setiap Ibu pulang dari bepergian, Desylah yang selalu
diingat oleh Ibu. Sampai-sampai dia pernah berpikir kalau dirinya
bukanlah anak kandung Ibu. Kenangan masa kecilnya yang pahit kembali
berkelebat. Dia harus berusaha untuk tak mengingatnya lagi. Sebab hanya
membuat hati semakin luka. Biarlah luka itu mengering seiring
berjalannya waktu. Dia tak ingin memperlebarnya lagi. Karena sudah
susah payah menyembuhkannya dari hari-kehari. Aku segera mengambil
kitab Suci, dan mulai membacanya dengan sepenuh hati sambil menunggu
waktu solat isya datang. Ditengah melantunkan ayat-ayat Allah,
tiba-tiba bunyi bel dari ruang depan terdengar cukup nyaring. Pastilah
itu Mike. Lelaki yang sudah berhasil dibuat klepek-klepek oleh
kecantikan dan kepintaran Desy. Dan aku sikembang rumput ini, tak punya
nyali untuk sekedar mengagumi lelaki setampan dan setajir Mike. Apalagi
berharap untuk menjadi istrinya. Meski hatinya berdenyar bila lelaki
itu menatap dan menyapanya, dengan senyumnya yang mampu membuat gadis
manapun tertawan. Ana merapikan mukenanya dengan hati yang lebih
bahagia dari biasanya. Tiba-tiba rasa optimis menyerangnya. Optimis
bahwa hidupnya akan berjalan lebih baik dari kemarin-kemarin, karena
Allah kini menjadi sandaran hidupnya. Sebaik-baiknya sandaran buat
manusia. Baginya lebih baik hina dimata manusia, daripada hina dimata
Allah. “Ana mana? Dari tadi aku gak ngeliat dia.” “Ada
dikamarnya.” “Ohhh…” “Tumben kamu nanyain si Ana.” “Emangnya
salah?” “Emang gak salah sih Mike. Cuma, gak biasanya kamu perduli sama
orang yang gak penting seperti Ana,”jawab Desy. “Loh Des, Ana kan
adikmu. Wajar kalau aku menanyakan kabarnya, sebab kalian kan masih
saudara.” Mike sedikit heran melihat perubahan wajah Desy yang
menunjukkan ketidaksukaannya pada Ana. Sementara dari dalam kamar, Ana
mendengar Desy berbicara dengan Mike secara samar-samar. Tapi dia tak
tahu pasti apa saja yang mereka bicarakan, karena kamarnya agak jauh
dari ruang tamu. Akh…Betapa keberuntungan selalu menyertai orang
secantik dan sehebat Desy, Ana membatin. Lelaki yang setiap ada waktu
selalu datang kerumahnya, ditengah kesibukannya yang seabrek sebagai
pengusaha sekaligus dosen senior di kampus kakak tertuanya itu. Mungkin
tepatnya selalu punya waktu untuk Desy. Hingga keluarga besarnya merasa
tak asing lagi dengan kehadiran Mike, termasuk ayah dan ibunya. Mungkin
karena pembawaannya yang ramah dan mudah akrab. Aku melanjutkan
aktifitasku dengan memeriksa hasil ulangan yang dikerjakan oleh anak
didikku siang tadi. Dengan seksama dia mengoreksinya satu-persatu.
Hampir satu jam dia berkutat dengan setumpuk kertas yang coba ia beri
nilai dengan pantas. Setelah semuanya ia bereskan tanpa kendala,
dirinya pun diserang rasa mengantuk yang amat sangat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar