Rabu, 17 Maret 2010

Politik Di Indonesia 2009

“Di masyarakat, popularitas dari ketokohan atau figur masih diperlukan, untuk itu kami memilih artis karena dia sangat dikenal.” [link]
“Artis hanya menjual payudara dan pantat. Ini malah menurunkan derajat politik di Indonesia… Jangan-jangan artis ditarik ke politik, politisi ini mengintip diatas panggung. Di belakang main di hotel. Mau dibawa kemana politik ini?” [link]
Seorang teman menutup tahun 2008 lalu dengan mengumpat tak karuan. Ia mengeluh karena sepanjang tahun situasi negeri ini benar-benar kacau balau akibat produk kebijakan DPR yang tak jelas. Ia berpendapat bahwa UU MA, BHP, APP, dan peraturan lainnya tak lebih dari (maaf) sampah. Semua dibuat dengan cara instan, tanpa pikir panjang, apalagi melihat visi jangka panjang.
Celakanya, semua itu dibiayai dengan duit negara (rakyat) yang dihamburkan begitu saja. Ia makin jengkel ketika tahu bahwa keringat yang ia setor lewat pajak ternyata hanya digunakan untuk memarkup nilai proyek, melakukan kunjungan kerja yang tak jelas, atau “studi banding” (misal: untuk membandingkan harga Lous Vuitton di Jakarta dengan luar negeri). Kejengkelannya makin menumpuk ketika saya sodori nama-nama artis yang ingin terjun ke ranah politik, misalnya:
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): Jaja Mihardja, Jamal Mirdad, Rachel Maryam, Rita Sugiarto, dan Tesa Mariska.
Partai Amanat Nasional (PAN): Adrian Maulana, Cahyono, Derry Drajad, Eka Sapta, Eko Patrio, Henidar Amroe, Ikang Fawzi, Intan Sevilla, Irene Librawati, Krisna Mukti, Lucky Artadipraja, Mandra, Mara Karma, Marini Zumarnis, Maylaffayza, Poppy Maretha, Raslina Rasyidin, Tito Soemarsono, Wanda Hamidah, dan Wulan Guritno.
Partai Bintang Reformasi (PBR): Paramitha Rusady dan Peggy Melati Sukma.
Partai Damai Sejahtera (PDS): Bella Saphira, Maya Rumantir, Tamara Geraldine, Tessa Kaunang, Ricky Jo, dan Ronny Pangemanan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P): Dedi ‘Miing’ Gumelar, Edo Kondologit, Rieke Diah Pitaloka, dan Sony Tulung.
Partai Demokrasi Pembaruan (PDP): Luna Maya.
Partai Demokrat: Adjie Massaid, Angelina Sondakh, H. Qomar, Inggrid Kansil, Tere, dan Venna Melinda.
Partai Golongan Karya (Golkar): Dharma Oratmangun, Jeremy Thomas, Nurul Arifin, Puput Novel, dan Tantowi Yahya.
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura): Anwar Fuadi, Azizah Rahma, David Chalik, Dimas Andrean, dan Gusti Randa.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Didi Kempot dan Tengku Firmansyah.
Partai Patriot: Camelia Malik dan Hengki Tornado.
Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP): Denada, Emilia Contessa, Evie Tamala, Ferry Irawan, Icuk Sugiarto, Kristina, Lyra Virna, Marissa Haque, Mat Solar, Mieke Wijaya, Okky Asokawati, Rahman Yacob, Ratih Sanggarwati, dan Soultan Saladin.
Memang bukan hal baru artis masuk ke politik. Di masa Soeharto, alm. Edy Sud (Golkar) dan Rhoma Irama (PPP) sudah lebih dulu terjun. Di Pemilu lalu, Adjie Massaid, Dede Yusuf, Marissa Haque, dan H. Qomar sukses masuk ke Senayan. Yang pro berpendapat bahwa rakyat sudah bosan dengan politisi yang hanya mementingkan diri sendiri. Mereka butuh suasana baru yang lebih menjanjikan. Para artis dipercaya sudah hidup mapan sehingga risiko korupsi mungkin lebih kecil. Sementara yang kontra menganggap bahwa panggung politik hanya pelarian karena mereka tak laku lagi di televisi.
Saya sendiri agak heran. Kalau memang ingin menjadi vote getter, nama seperti Hengki Tornado, Maya Rumantir, Nurul Arifin atau Puput Novel kini sudah tak banyak dikenal. Nurul Arifin mungkin hanya dihafal oleh generasi tahun 80-90 yang sering menonton film panasnya dulu. Bagi partai, tentu lebih “mak nyus” kalau mau menggaet Tukul Arwana, Ruben Onsu, Olga Syahputra, atau Sandra Dewi yang sedang populer.
Mungkin bisa dimaklumi bahwa kapasitas para artis tersebut seringkali dipertanyakan. Apalagi banyak dari para artis tersebut tidak mempunyai latar belakang pendidikan formal berbasis poleksosbud maupun pengalaman organisasi yang memadai. Jadi tak aneh bila banyak yang meragukan kemampuan mereka. Jangankan orang baru yang out of the blue, mereka yang sudah bertahun-tahun nongkrong di Senayan pun tak sedikit yang disebut politisi gagal.
Masalah kedua adalah stereotip yang melekat dalam diri artis. Tak bisa dielakkan bahwa artis (walau tidak semua) dikenal bergaya hidup glamor dan serba wah—-mulai dari cara berpakaian, potongan rambut, kendaraan pribadi, dan gaya hidup lainnya. Padahal kita tahu bahwa yang kita butuhkan sekarang justru bagaimana mengencangkan ikat pinggang dan mengefektifkan setiap pengeluaran kita. Kalau perlu, ganti kendaraan dinas anggota DPR dengan Kijang kapsul atau APV.
Harusnya kejadian meninggalnya salah seorang artis sekaligus politisi gara-gara touring moge di tahun 2008 lalu menjadi pelajaran. Sepanjang perjalanan tak sedikit pengguna jalan yang menghujat rombongan ini karena mereka menggunakan jalan seenaknya, menerobos lampu merah, menutup sejumlah jalur, mem-booking pompa bensin, hingga marah tak jelas jika ada yang menyalip mereka. Walaupun mengusung nama merah putih, mereka menggunakan motor luar negeri dan tur tersebut sama sekali tidak mencerminkan nilai ke-Indonesia-an.
Tentu terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana kira-kira situasi politik negeri ini di tahun 2009. Tapi satu hal yang pasti adalah bahwa negara ini rupanya benar-benar telah menjadi korban kebiadaban televisi (dan sinetron). Nampaknya perlu puluhan tahun lagi agar negeri ini bisa menghasilkan gerilyawan revolusioner yang legendaris seperti Tan Malaka atau politikus yang tajam namun sederhana semisal Haji Agus Salim—-bukan politisi karbitan yang asal dicomot dari dunia hiburan.
Tak terasa Pemilu tinggal menghitung hari. Tentukan pilihan Anda dengan bijak dan hati-hati karena masa depan negeri ini ada di tangan Anda.
*) Daftar tersebut di atas dirangkum dari berbagai situs berita tanah air. Akurasi tidak dijamin karena penulis tidak hafal dan tidak memantau nama dan perkembangan para artis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar